Hidup di Negara yang Bercekaman Tinggi

 ”Siapa saja yang mengusahakan tanah mati menjadi hidup (dapat ditanami), baginya mendapatkan suatu ganjaran pahala.  Dan makhluk apa pun yang mendapatkan makan darinya akan dihitung sebagai pahala baginya”(Hadist)     

Tulisan ini ditulis bukan bermaksud mendemotivasi kita untuk mau hidup lagi di Indonesia, namun justru sebaliknya, saya ingin memotivasi pembaca dengan memberikan sedikit uraian mengenai tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam bidang pertanian.   

Saya merasa perlu menulis tulisan ini karena pada beberapa postingan milis yang saya dapatkan, masih banyak rekan-rekan yang menulis atau mengambil tulisan dengan tema umum seperti ini, ”INDONESIA NEGARA YANG KAYA AKAN SUMBERDAYA ALAM, MENGAPA TIDAK MAJU” dan yang sejenisnya.  Selanjutnya saya bukan bermaksud melakukan pembelaan atau yang sejenisnya.

Adapun yang ingin saya kemukakan adalah pentingnya memahami tantangan pengembangan pertanian dari sisi cekaman yang ditemukan. Saya sering berdiskusi dengan Prof. M.A. Chozin (Guru Besar Ekofisiologi IPB) mengenai kendala perkembangan pertanian dan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia. Salah satu hal yang sering menjadi inti diskusi adalah banyaknya cekaman yang ada di Indonesia berupa cekaman biotik dan abiotik. 

Bahkan kedua jenis cekaman tersebut saling berinteraksi.  Kedekatan saya dengan Prof. Chozin terutama visi dan misinya menyadarkan saya sebagai generasi muda yang tumbuh dan berkembang di Indonesia untuk memahami permasalahan ini dan berbuat sesuatu semampu saya. Bangsa Indonesia patut bersyukur karena memiliki wilayah yang berada pada wilayah tropis. Wilayah tropis merupakan wilayah di garis katulistiwa dan wilayah ke utara dan ke selatan sampai sekitar garis lintang 23 ½o.  

Luasan wilayah tropika di dunia diperkirakan sebesar 40% dari total permukaan bumi.   Dikarenakan secara geografis Indonesia terletak antara 95oBT sampai 141oBT, dan 6oLU sampai 11oLS dengan lebar dari utara sampai selatan sekitar  2000 km dan panjang dari timur sampai barat sekitar 5000 km, maka wilayah Indonesia termasuk dalam salah satu negara tropis terbesar di dunia.  Wilayah tropis dikenal memiliki agroklimat yang unik dan berpotensi besar dalam pengembangan pertanian.  Iklim tropis tersebut membawa pengaruh terhadap karakteristik lingkungan di wilayah tropis.  Karakteristik lingkungan tropis dapat dipandang sebagai suatu potensi yang luar biasa dalam bidang pertanian. Namun demikian, potensi tersebut diiringi dengan berbagai tantangan dalam manajemennya, karena kalau tidak diatasi dengan baik justru dapat menjadi faktor penghambat pertanian di wilayah tropis. 

Potensi dan tantangan pertanian di wilayah tropika

Potensi lingkungan tropis terutama sekali terletak pada adanya lingkungan yang beragam dengan agroklimat yang mendukung yang memungkinkan adanya tingkat produksi sepanjang tahun yang stabil.  Dengan demikian daya produksi tahunan di wilayah tropis lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.  Komponen agroklimat yang dimaksud adalah intensitas cahaya matahari (energi surya) yang tinggi, suhu relatif konstant dan kelembaban serta curah hujan yang tinggi.  Dengan adanya agroklimat yang baik tersebut, wilayah Indonesia memungkinkan ditumbuhi berbagai organisme sehingga Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity.  Adanya keragaman tipe ekosistem termasuk adanya tekanan abiotik dan biotik di wilayah tropika dapat mendorong munculnya keragaman genetik tanaman asli dan tidak tertutup kemungkinan untuk mengintroduksi tanaman dari luar (sub-tropis). 

Potensi tersebut diikuti oleh berbagai tantangan dalam mengembangkan pertanian di wilayah tropika.  Dalam kegiatan pertanian, pertumbuhan tanaman dari fase benih/bibit hingga produksi/panen akan melibatkan berbagai faktor lingkungan biotik dan abiotik.  Komponen abiotik adalah iklim dan tanah, sedangkan komponen biotik berupa hama, penyakit dan gulma.  Agroklimat yang mendukung pertumbuhan organisme menjadi penyebab tingginya keragaman organisme pengganggu dalam usaha pertanian di wilayah tropis.  Dengan adanya faktor tersebut maka pertanian di wilayah tropis seringkali tidak berada pada kondisi yang optimum untuk pertumbuhan dan produksi tanaman, dan pengembangan pertanian akan bergeser pada lahan dan kondisi agroklimat sub-optimum (bercekaman).  Hal tersebut dapat mendorong gap yang besar antara potential yield dan actual yield yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional.   

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, jumlah lahan produksi yang produktif semakin berkurang. Konversi lahan pertanian secara umum saja saat ini adalah sebesar 1.4 % per tahun di pulau Jawa. Lahan pertanian banyak berganti wajah menjadi pemukiman dan fasilitas lain. Dengan demikian diperlukan usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian pada lahan produktif yang semakin terbatas.  Untuk kondisi saat ini, usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dapat ditempuh diantaranya dengan cara yaitu: penggunaan bibit unggul, perbaikan teknologi budidaya, perbaikan penanganan pasca panen dan pemanfaatan lahan-lahan bercekaman. 

Pemanfaatan lahan-lahan bercekaman merupakan peluang yang besar untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional bahkan dunia mengingat masih banyaknya lahan-lahan bercekaman  ini.  Sebagai contoh, sampai saat ini lahan sawah irigasi masih menjadi tulang punggung produksi padi nasional padahal pembangunan sistem irigasi memerlukan dana yang tidak sedikit. Adanya kecenderungan penyusutan lahan produktif di Pulau Jawa dan di daerah lain (termasuk lahan sawah produktif) akhirnya mendorong untuk mengarahkan perhatian pada ketersediaan lahan marginal yang ada. Adapun lahan marginal ini diantara berupa lahan tadah hujan, pasang surut, rawa, dan lahan kering.  

Cekaman Lingkungan Abiotik pada Lahan-Lahan Marginal

Cekaman abiotik merupakan ancaman pengembangan pertanian di wilayah tropis.  Beberapa cekaman abiotik yang dirasakan sangat mengganggu diantaranya adalah kekeringan, terlalu banyak air (genangan), salinitas/alkalinitas, tanah sulfat masam, kekurangan unsur P dan Zn, serta keracunan Al dan Fe.  

Kekeringan dan Genangan air

Ketersediaan air dalam jumlah yang cukup merupakan hal yang penting bagi produksi pertanian. Mayoritas tanaman memerlukan cukup banyak air sehingga masih cukup sulit dikembangkan pada lahan-lahan kering.  Meskipun demikian jika terlalu banyak air atau tergenang sepanjang waktu juga tidak menguntungkan bagi tanaman dan akan terjadi pengurangan nilai produksi.  

Kemasaman Tanah

Kemasaman tanah merupakan kendala paling inherence dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam.  Tanaman tumbuh normal (sehat) umumnya pada ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al3+, Fe2+, dan Mn2+ dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K (Notohadiprawiro, 2000). 

Salinitas

Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik. Secara khusus, keragaman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman, terutama oleh ion Na+ dan Cl-1.   

Keracunan Aluminium, Besi dan Asam-Asam Organik

Kadar aluminium (Al) pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi pirit.  Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral alumino silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih banyak (Notohadiprawiro, 2000).  Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe2+) yang menyebabkan keracuan bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang.   Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat menimbulkan keracunan, misalnya pada padi dengan kondisi tanah tergenang. 

Asam-asam organik juga dihasilkan dari perombakan bahan organik secara anaerob, tetapi dalam kondisi masam perombakan menjadi terhambat sehingga penimbunan asam-asam ini dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman. 

Dengan semakin tergesernya lahan-lahan pertanian termasuk padi ke lahan-lahan kurang subur termasuk ke lahan-lahan marginal, permasalahan cekaman abiotik ini akan menjadi semakin penting. Pada lahan-lahan marginal tingkat cekaman abiotik pertanaman padi tentu saja akan semakin besar.  Namun melihat fakta banyaknya konversi lahan subur dari pertanian menjadi non-pertanian, sangat mustahil jika peningkatkan produksi akan dicapai dengan mengandalkan lahan-lahan yang subur saja.  Ke depan pemanfaatan lahan-lahan dengan cekaman abiotik yang tinggi akan semakin penting dalam usaha peningkatan produksi padi secara keseluruhan. 

Keberhasilan dalam mengatasi permasalahan cekaman abiotik ini akan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam meningkatkan produksi pertanian. Dalam mengatasi permasalahan cekaman abiotik pada lahan-lahan pertanaman padi maupun lahan-lahan marginal,  dapat dilakukan dengan dua cara.  Kedua cara tersebut yang pertama adalah dengan memodifikasi lahan-lahan marginal sedemikian rupa sehingga menyerupai lingkungan yang disukai suatu varietas tertentu, atau yang kedua dengan melakukan pemuliaan tanaman yang toleran terhadap cekaman-cekaman abiotik tertentu sesuai dengan kebutuhan atau dengan kata lain mengembangkan varietas-varietas tanaman baru yang tahan terhadap cekaman lingkungan abiotik. Hal di atas sangat penting untuk dillakukan, karena pemanfaatan lahan-lahan bercekaman tersebut akan sangat bermanfaat dan berpotensi tinggi.

Sebagai ilustrasi, dalam hal ketersediaan lahan pasang surut saja, di Indonesia kurang lebih terdapat 33 juta hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Dari luasan yang ada tersebut, sekitar 6 juta hektar diantaranya cukup potensial untuk pengembangan pertanian. Namun dari luasan 6 juta tersebut masih sekitar 554.000 hektar saja yang cocok untuk ditanami tanaman padi dengan hasil rata-rata 1.5 ton/ha. Rendahnya produktivitas padi di lahan pasang surut disebabkan karena tingkat kemasaman tanah yang tinggi, keracunan zat besi, alumunium, salinitas tinggi serta kekahatan unsur P dan Zn.
 

Lahan pasang surut terbagi kedalam empat macam yaitu lahan potensial, lahan sulfat asam, lahan gambut, lahan salin dan lebak atau rawa non pasang surut (Noor, 2004).  Batasan pembagian tipologi lahan dan kendala pengembangan masing-masing adalah sebagai berikut: 

  •  Lahan potensial adalah lahan rawa yang mempunyai jenis tanah sulfat masam potensial dengan kadar pirit < 2% pada jeluk > 50 cm dari permukaan tanah.  Kendala produksi tergolong kecil karena mutu tanah tidak termasuk bermasalah. 
  • Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai lapisat pirit pada jeluk < 50 cm yang juga disebut tanah sulfat masam potensial dan semua jenis tanah sulfat masam aktual.  Berdasarkan asosiasinya dengan gambut dan tingkat salinitasnya maka lahan sulfat masam ini dapat dibagi dalam lima tipologi.  Berdasarkan jeluk pirit, tingkat keasaman, dan intensitas oksidasi pirit lahan sulfat masam dapat dibagi menjadi enam tipologi lahan.  Kendala produksi pada jenis tipologi ini tergolong sedang sampai sangat berat.
  • Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari bahan organik berupa: (1) bahan jenuh air dalam waktu lama atau telah diatus dengan kadar bahan organik paling sedikit 12%, tanpa kandungan lempung atau paling tidak 18% apabila mengandung lempung paling tinggi 60%, atau (2) bahan tidak jenuh air selama kurang dari beberapa hari dengan kadar bahan organik paling sedikit 20%.  Berdasarkan ketebalan gambutnya, lahan gambut dapat dibagi menjadi gambut dangkal, sedang, dalam, dan sangat dalam.  Kendala produksi pada jenis tanah ini tergolong sedang sampai sangat berat. 
  • Lahan salin atau lahan pantai adalah lahan rawa yang terkena pengaruh penyusupan air laut atau bersifat payau, yang dapat termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam, atau lahan gambut.  Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan dalam setahun dengan kadar natrium (Na) dalam larutan tanah 8-15%.  Berdasarkan tingkat salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu salin ringan, sedang, dan sangat salin.  Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai sangat berat terutama dalam hal salinitas. 
  • Lahan lebak atau rawa nonpasang surut adalah lahan rawa yang mengalami genangan minimal setebal 25-50 cm dengan lama genangan paling sedikit tiga bulan dalam setahun.  Lahan lebak ini dibagi berdasarkan tinggi dan lama genangan menjadi empat tipologi, yaitu lebak dangkal (pematang), lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam (lebung).  Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai sangat berat, terutama dalam pengendalian air saat musim hujan. Menurut  (Evenson et al., 1996) masih banyak faktor-faktor biofisik yang mempengaruhi kehilangan hasil potensial dari suatu pertanaman padi.  Pada ekosistem padi sawah misalnya, nilai kehilangan sebesar 20% dari rata-rata produksi per ha, hingga nilai kehilangan sbesar 40 % pada lahan-lahan di pegunungan.  Dari hasil penelitian Evenson et al. (1996) terlihat bahwa cekaman abiotik lebih dominan dalam mengurangi hasil panenan dibandingkan cekaman biotik untuk pertanaman padi (Tabel 1).  

Tabel 1.     Kehilangan Hasil Akibatkan Hambatan Teknis dalam Pertanaman Padi pada Beberapa Eksosistem di ASIA (Evenson et al., 1996)

Faktor Penghambat Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Genangan Pegunungan Rata-Rata
………………………………………………….. kg/ha ……………………………………………. (%)
Biotik            
Penyakit 69 146 18 70 83 3.1
Serangga 108 166 16 65 110 2.3
Hama selain serangga 29 88 21 120 52 1.4
             
Abiotik            
Air 400 288 429 227 358 9.9
Tanah 356 75 13 80 229 6.4
             
Total 962 763 496 563 833 23
             
Persentase kehilangan 20 33 33 40 23  

Cekaman biotik sebagai penghambat pengembangan pertanian di wilayah tropis

Interaksi antara tanaman budidaya, tanaman lain, serangga, fungi, bakteri seringkali diperlukan dalam sistem pertanaman, namun demikian interaksi yang bersifat negatif yang menyebabkan tanaman budidaya mengalami tekanan/cekaman dan berakibat menurunnya laju pertumbuhan dan produksi bahkan dapat mematikan tanaman budidaya.  Hal ini menyebabkan cekaman biotik dianggap dapat menghambat pengembangan pertanian di tropis. 

Sumber cekaman biotik secara garis besar adalah serangga, penyakit, dan gulma.  Masing-masing sumber memberikan interaksi negatif kepada tanaman dengan mekanisme yang berbeda pula.  Demikian pula dengan tanaman akan menghasilkan respon fisiologis pertahanan terhadap cekaman biotik dari tiap sumber yang berbeda-beda. 

Cekaman penyakit

Penyakit adalah penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan tumbuhan atau bagian tumbuhan tidak dapat melakukan kegiatan fisiologi secara normal.  Dampak dari hal tersebut adalah tumbuhan tidak mampu memberikan hasil yang cukup secara kuantitas maupun kualitas.  Penyakit tumbuhan dapat menimbulkan kerugian lewat beberapa jalan baik berupa kerugian langsung yang dirasakan oleh penanam yang berupa pengurangan kuantitas maupun kualitas hasil, peningkatan biaya produksi, dan pengurangan kemampuan usaha tani.  Kerugian yang diderita secara tidak langsung seperti rangkaian kerugian yang diderita oleh masyarakat seperti harga konsumen yang tinggi akibat faktor produksi yang tinggi atau adanya kelangkaan barang sehingga mempengaruhi lesunya kegiatan perekonomian dalam arti yang semakin luas.

Interaksi antara inang dengan patogen sering disebut dengan konsep gene to ­gene. Interaksi antar inang dan patogen secara spesifik ditentukan oleh interaksi avirulen gen yang dihasilkan oleh patogen dan resisten gen pada tanaman.  Intraksi ini sering dikaitkan juga dengan adanya faktor lingkungan sehingga muncul konsep penyakit tumbuhan yaitu konsep segitiga penyakit.  Dalam konsep ini diketahui bahwa terjadinya penyakit tumbuhan sangat ditentukan oleh tiga faktor yaitu faktor lingkungan, tumbuhan inang, dan patogen. 

Penyakit akan terjadi apabila ada tumbuhan yang rentan, patogen yang virulen dan faktor lingkungan yang mendukung untuk perkembangan patogen tetapi menghambat pertumbuhan inang.  Pada level yang lebih tinggi terdapat faktor lain yaitu campur tangan manusia sehingga konsep segitiga penyakit berubah menjadi segi empat penyakit dimana manusia dapat mengatur tanaman inang (pemilihan varietas), mempengaruhi faktor lingkungan dengan merekayasa lingkungan tumbuh, dan mempengaruhi faktor patogen dengan berbagai usaha pengendaliannya. 

Jenis-jenis penyakit yang menyerang tanaman pertanian di tropis sangat banyak jenisnya berikut ragam/variannya.  Sekali lagi ini akibat dari faktor abiotik yang sangat mendorong tumbuh dan berkembangnya berbagai organisme di bumi Indonesia. 

Cekaman hama

Kerusakan yang ditimbulkan hama pada tanaman dapat bersifat: (1) langsung, (2) tidak langsung, (3) sebagai sarana transmisi patogen penyakit.  Secara langsung, hama dapat merusak bagian tanaman dengan cara merusak daun sehingga fotosintesis terganggu dengan cara memakan, menggulung dan mengorok daun; memakan tu­nas/pucuk titik tumbuh bunga dan buah muda, memakan bunga, buah, benih; meng­gerek batang tanaman berkayu; memakan akar; menggerek umbi sehingga cadangan makanan berkurang. 

Selain itu juga terdapat hama yang menyerang dengan cara men­ghisap cairan tumbuhan sehingga vigor tanaman hilang dan menjadi layu, dan kerdil; menyebabkan daun keriting dan tidak berbentuk; menyebabkan daun gugur prematur; menyebabkan skarifikasi daun dan buah karena putusnya sel epidermis dan hilangnya cairan; air liur beracun yang dikeluarkan oleh Heteroptera dapat menyebabkan buah gugur prematur pada kelapa, aborsi buah kapas muda akibat Calidea, kematian bunga dan pengurangan produksi benih akibat kumbang kopi serta nekrosis batang; mem­fasilitasi infeksi cendawan dan bakteri patogen misalnya Dysdercus, Nezara dan Calidea spp yang memfasilitasi cendawan Nematospora pada buah kapas.

Kerusakan tidak langsung pada tanaman yang terjadi karena serangga membuat tanaman lebih sulit untuk dibudidayakan dan dipanen, misalnya Erias spp pada kapas yang menyebabkan tanaman tumbuh menyebar sehingga menyulitkan penyiangan dan penyemprotan.  Hama juga dapat menunda kematangan tanaman.  Serangan hama me­nyebabkan kontaminasi dan hilangnya kualitas tanaman.  Hilangnya kualitas terjadi karena pengurangan nilai gizi dan daya jual pasar (mengurangi grade).  Pengaruh lain­nya adalah rusaknya penampilan hasil panen dan kontaminasi oleh kotoran hama.Transmisi mekanis atau pasif terjadi pada luka di kutikula akibat serangan hama.  Patogen biasanya terbawa pada belalai hama atau di atas tubuh serangga penggerek. 

Sebagian besar virus ditransmisi oleh vektor serangga.  Vektor ini biasanya merupakan inang intermediate yaitu sebagian besar kutu daun dan lalat putih.  Virus yang biasa di­tularkan adalah daun keriting pada kapas (cotton leaf roll), mosaik singkong, mosaik tembakau dan virus kerdil pisang (banana bunchy top).  

Cekaman gulma

Cekaman biotik yang berikutnya adalah cekaman dari gulma.  Gulma sering didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diharapkan yang tumbuh pada lahan pertanian.  Gulma dapat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hasil panen. Penurunan kuantitas hasil panen terjadi melalui dua cara yaitu pengurangan jumlah hasil yang dapat dipanen, dan penurunan jumlah individu tanaman yang dipanen. Potensi gulma di lahan tropis sangat tinggi dibandingkan dengan daerah sub tropis. 

Hal ini disebabkan keragaman jenis tumbuhan (termasuk gulma) di daerah tropis sangat tinggi dibandingkan daerah sub tropis.   Indonesia, sebagai salah satu pusat keragaman plasma nutfah (mega biodiversity) tertinggi di dunia setelah Brazil, memiliki sekitar 28 000 jenis tumbuhan (Sutrisno, 2005).  Disamping sebagai sumber keragaman genetik,  ratusan jenis di antara ribuan jenis tumbuhan tersebut juga  berpotensi sebagai gulma. Menurut Qasem dan Foy (2001) dalam Chozin (2006), terdapat 239 jenis gulma yang berpotensi alelopati, dan masih terdapat ratusan jenis gulma lainnya yang mekanisme interaksinya dengan tanaman belum diketahui.

Berdasarkan sifat persaingannya, gulma dibedakan menjadi tiga golongan yaitu: 1.         Grasses (rumput), umumnya termasuk Famili Gramineae, mempunyai batang bulat atau agak pipih dan berongga. Daun-daun soliter pada buku, tersusun dalam dua deretan, bertulang daun sejajar dan terdiri atas pelepah daun serta helaian daun.2.         Sedges (teki), termasuk Famili Cyperaceae yang mempunyai batang berbentuk segitiga atau bulat dan tidak berongga.  Daun-daun tersusun dalam tiga deretan.3.         Broad leaves (berdaun lebar), termasuk golongan Dicotyl atau paku-pakuan (Pteridophyta).  Daun lebar dengan tulang daun berbentuk jaringan. Kondisi iklim tropis yang panas dan cahaya matahari yang melimpah sangat mendukung untuk perkembangan gulma di Indonesia.  Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya dominasi gulma dari jenis rumput-rumputan, teki dan gulma berdaun lebar yang mendominasi pada areal lahan pertanian. 

Menurut Mercado (1979), jenis-jenis gulma yang tumbuh cepat, penyebarannya luas dan memiliki metabolisme yang efesien akan menjadi gulma yang berbahaya.  Di Indonesia gulma jenis rumput-rumputan dari golongan C4 berpotensi untuk menjadi gulma yang berbahaya karena kemampuannya untuk berkompetisi dengan tanaman dan gulma lainnya dalam memanfaatkan cahaya matahari.  Gulma dari golongan C4 akan sangat efesien dalam memanfaatkan cahaya matahari untuk fotosintesa.  Disamping itu gulma dari jenis rumput-rumputan juga dapat tumbuh dengan cepat dan menyebar luas dengan bijinya.  Disamping itu,  gulma yang mempunyai pertumbuhan mirip dengan tanaman akan menimbulkan kompetisi yang lebih berat  dari pada gulma lainnya. 

Gulma jenis rumput-rumputan yang umum terdapat  pada lahan pertanian di Indonesia adalah Leptochloa chinensis, Echinocloa crusgalii, Paspalum distichum, Panicum repens, Echinocloa colonum dan Digitaria sanguinalis.Golongan gulma lainnya yang cukup penting adalah jenis teki.  Hal ini disebabkan beberapa jenis teki mampu menghasilkan 10 000 biji per tanaman dan tidak memiliki dormansi sehingga biji dapat langsung berkecambah.  Beberapa contoh jenis gulma golongan teki adalah Cyperus iria, C. rotundus, C. difformis dan Fimbristylis littoralis.Gulma berdaun lebar juga cukup berbahaya karena kemampuannya untuk menurunkan hasil pada tanaman lebih besar dibandingkan jenis gulma lainnya (Chozin, 2006).   Jenis-jenis gulma berdaun lebar diantaranya adalah Ludwigia octovalvis, Ipomea aquatica, Ageratum conyzoides, Alternanthera philoxeroides, Lindernia angustifolia, M. vaginalis, S. zeylanica dan Leersia hexandra.    

Kehilangan hasil yang ditimbulkan akibat gulma pada tanaman pertanian dapat mencapai 16 – 87 % (Deptan, 2001).  Kerugian akibat gulma ini dapat secara langsung atau tidak langsung.  Pengaruh secara langsung diakibatkan adanya hubung/interaksi antara  gulma dengan tanaman yang mengakibatkan terjadinya penurunan hasil pada tanaman.   Sebagai contoh kompetisi gulma dengan tanaman bawang merah dapat mengakibatkan penurunan hasil sebesar 27.63 % – 46.84 % (Utomo et al., 1986).  Sedangkan pengaruh secara tidak langsung diakibatkan  adanya biaya yang harus dikeluarkan  untuk pengendalian gulma sehingga mengurangi keuntungan yang diterima.   

Menurut Utomo dan Tjitrosoedirdjo (1984), biaya tenaga kerja untuk penyiangan gulma pada tanaman bawang merah di Brebes  mencapai 65 % dari  total biaya produksi.Besarnya Kerugian atau kehilangan hasil yang diakibatkan oleh gulma berbeda beda untuk setiap jenis tanaman tergantung dari jenis tanaman, jenis gulma dan faktor-faktor pertumbuhan yang mempengaruhinya (Chozin, 2006).  Menurut Smith (1983) dalam Susilo, 2004), kehilangan hasil akibat gulma pada tanaman padi ditentukan efesiensi kompetisi antara padi dan gulma, jenis gulma, tingkat kesuburan tanah, varietas padi, alelopati, pengelolaan air, jarak tanam, kepadatan gulma dan cara tanam.    

Kaitan antara faktor abiotik dan biotik dalam mempengaruhi serangan patogen  

Salah satu upaya untuk dapat mengendalikan cekaman biotik adalah mengetahui ekofisiologi tanaman.  Diantaranya adalah ekologi hama, penyakit dan gulma, pengaruh/kaitan antara faktor abiotik dan biotik terhadap serangan patogen, serta mempelajari mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan patogen (fisiologi cekaman).   Dengan mengetahui mekanisme tersebut, diharapkan pengendalian yang akan dijalankan dapat lebih mengedepankan prinsip keseimbangan ekologis.

Kejadian penyakit hanya dapat terjadi jika ada interaksi antara patogen, tumbuhan inang, dan faktor lingkungan pada penyakit. Pola yang sama juga dapat berlaku untuk hama dan gulma. Dengan demikian faktor lingkungan (ekologi) sangat menentukan tingkat kejadian serangan/kerugian dan penyebaran hama.  Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran patogen, hama, dan gulma menyerupai faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan tanaman pada umumnya termasuk tanaman budidaya yaitu suhu, kelembaban, cahaya matahari, tanah, dan ketersediaan air. 

Sangat penting untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor tersebut dalam pengembangan pertanian.  Faktor-faktor abiotik secara langsung akan mempengaruhi serangan dan penyebaran penyakit.  Bahkan faktor abiotik seringkali juga menghasilkan gejala-gejala yang mirip dengan penyakit.  Misalkan pecah buah pada tomat yang sebenarnya merupakan penyakit fisiologis karena faktor air seringkali disalah artikan sebagai penyakit akibat hama atau penyakit sehingga dalam penangannya digunakan pestisida atau fungisida.  Keterkaitan antara faktor biotik sebagai agent (penyebab) penyakit ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2.   Agen abiotik yang mempengaruhi penyakit tanaman

Agen Faktor Pengaruh dan gejala
Nutrisi Kekurangan Gejala sistemik, discoloration, layu.  Nitrogen chlorose; phosphorus bluish-green discoloration, calcium blossom end rot.  Potassium low drought resistance, layu, stunting.
Kelebihan Kelebihan nitrogen mengurangi ketahanan terhadap penyakit.  Mangan menjadi bronzing, magnesium terjadi klorosis
Temperatur (suhu) Terlalu tinggi Scorching of leaves, sun scald on fruit, heat cankers.  Layu, penghambatan tumbuh, stunting. 
Terlalu rendah Frost injury
Kelembaban Rendah Layu, hangus
Terlalu tinggi Root rot, dieback
Polusi Asmosfer Ozon (O­3), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO2), peroksi asetil nitrat (PAN) menyebabkan pengungingan, dieback
Air Discoloration
Tanah Discoloration, penguningan
Tanah pH Terlalu basa sering diikuri dengan peningkatan kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit
Level air tanah Root rot, klorosis, meningkatkan kerentanan terhadap penyakit tertentu (black sigatoka pada pisang)
Kekompakan Penguningan, stunting
Salinitas Stunting, burned root, dieback
Logam berat Discoloration, stunting
Pestisida Kelebihan dosis Nekrosis, discoloration
Herbisida Kesalahan penggunaan dapat menyebabkan klorotik, nekrotik, pertumbuhan terganggu dan root stunted.
Radiasi Terlalu tinggi Dieback, peningkatan populasi tanaman parasit
Terlalu rendah Peningkatan kerentanan terhadap penyakit
Budidaya (Agronomis) Kesalahan budidaya Pelukaan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, kesalahan waktu tanam

Sebagai contoh pada pertanaman karet, infeksi kanker garis (Phytophthora palmivora) selalu terjadi dalam cuaca yang basah karena dibantu oleh hujan dan suhu yang sejuk.  Pada musim kemarau jarang terjadi infeksi (Semangun, 1991).  Dengan demikian dapat diperkirakan faktor-faktor lain yang memicu kelembaban tinggi dapat membantu infeksi dan penyebaran penyakit.  Nitrogen dilaporkan berkaitan erat dengan kejadian penyakit.  Pada tanaman kelapa sawit, kekurangan nitrogen lebih rentan terhadap penyakit. Namun pemberian nitrogen yang berlebihan dilaporkan juga membawa dampak terhadap peningkatan serangan Sclerotium oryzae pada tanaman padi (Semangun, 1993). 

Pada tanaman ubi kayu,  pemupukan NPK yang optimum terbukti dapat mengurangi beratnya penyakit (Terry, 1977), dan di Indonesia terbukti bahwa pemupukan NPK dan bahan organik dapat meningkatkan ketahanan tanaman (Nunung, 1985; Yahya, 1987).Perubahan iklim dan tanah saja dapat berpengaruh terhadap penyebaran serangga dan penyakit sehingga sangat beresiko bagi pertanian yang menggunakan pola monokultur. Kenaikan suhu dapat mengakibatkan batasan suatu organisme untuk tumbuh menjadi terbuka.  Perkembangan strain bakteri, virus dan serangga yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia misalnya malaria, demam dengue diduga juga terjadi akibat kenaikan temperatur harian rata-rata di Indonesia. Fenomena seperti ini dapat dipetakan dan dilengkapi dengan informasi-informasi permukaan bumi (Saefuddin dan Maharijaya, 2006). 

Penyakit dapat disebarkan oleh berbagai vektor, salah satunya adalah hama.  Spesies hewan yang tidak berbahaya dapat menjadi hama dengan adanya peruba­han ekologi misalkan dengan adanya tanaman budidaya yang rentan terhadap spesies hewan tersebut.  Perubahan ekologi utama yang dapat menyebabkan perubahan status tersebut adalah:

Karakter persediaan makanan.

Tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian umumnya sudah terpilih dari segi kandungan gizinya serta biasanya berukuran besar dan sukulen, terutama buah atau benih yang besar.  Jagung dan sorgum tentunya merupakan sumber makanan yang lebih menarik perhatian hama penggerek batang daripada rumput.  Tanaman kubis budidaya pun lebih menarik perhatian ulat daripada kubis-kubisan liar.

Monokultur.

Teknik monokultur nampak mirip dengan kondisi klimaks dari beberapa vege­tasi temperate alami, dimana suatu hamparan daerah yang luas didominasi oleh sedikit spesies tanaman.  Serangan ulat pemakan daun yang luas terkadang ter­jadi pada pohon-pohon hutan di Amerika Utara dan Eropa, mirip dengan lahan budidaya yang terserang hama berat.

Teknik budidaya minimum.

Teknik budidaya minimum merupakan teknik pertanian dimana persiapan lahan diusahakan diminimalisir.  Tindakan yang dilakukan adalah pemberian herbisida pada sisa tanaman dan gulma kemudian lahan ditanami tanaman tanpa pengola­han.  Pada budidaya, tindakan penggarpuan dan pembajakan tanah dapat mengu­rangi hama tanah karena terkena cahaya matahari dan desikasi, juga membuat mereka lebih mudah diserang oleh predator dan parasit.  Banyak hama Lepi­doptera dan Diptera memangsa bagian tajuk tanaman pada tahap larva namun berkepompong di tanah.  Hama tanah ini dapat dikurangi jumlahnya dengan tek­nik budidaya biasa namun jumlahnya dapat meningkat pada lahan yang diolah secara minimal.

Multiplikasi habitat yang cocok.

Pertanian membuat lebih sedikit spesies tumbuhan yang hidup pada lahan de­ngan adanya seleksi tanaman yang cocok untuk dibudidayakan.  Sehingga hama yang berasosiasi dengan tanaman ini memiliki sumber makanan yang lebih menarik dan terkonsentrasi.  Contohnya adalah hama gudang yang terdapat dalam jumlah sedikit di lapangan menjadi melonjak di gudang karena iklim mik­ronya lebih cocok dan jumlah makanan lebih banyak. 

Hilangnya spesies kompetisi.

Pada kondisi monokultur, banyak serangga yang dalam kondisi alami bukan hama kemudian berubah menjadi hama.  Terkadang pengendalian spesifik dapat menghilangkan satu hama namun spesies lain yang lolos dari tekanan kompetisi dapat meningkat jumlahnya dan menjadi hama baru.

Perubahan hubungan inang/parasit.

Jika jumlah sebuah hama meningkat di lingkungan maka biasanya terdapat jeda waktu antara peningkatan ini dengan peningkatan jumlah predator/parasit.  Se­makin lama jeda waktunya, maka spesies ini dapat menjadi hama penting.  Se­bagai contoh adalah tungau laba-laba merah (Metatetranychus ulmi) yang men­jadi hama penting pada pohon buah di berbagai belahan dunia setelah dilaku­kannya penggunaan DDT pada skala luas di lahan pertanian.  Penggunaan DDT ini telah membunuh predatornya.

Penyebaran hama dan tanaman budidaya oleh manusia

Hama dapat menjadi menetap dan tidak terkendali saat diintroduksikan ke ne­gara yang awalnya tidak terdapat jenis hama tersebut. Hal ini terjadi karena di negara yang baru, tidak terdapat predator, parasit dan kompetitor makanan yang penting sehingga populasi hama baru meningkat secara dramatis.  

Penutup

Disamping memiliki keunikan, keunggulan dan potensi pertanian yang tinggi, pengembangan pertanian di wilayah tropis juga dihadapkan pada berbagai cekaman abiotik dan biotik yang tinggi baik dalam hal kuantitas maupun ragamnya.  Tanpa pengelolaan yang baik cekaman abiotik dan biotik akan dapat menurunkan tingkat produksi pertanian yang berujung pada terancamnya ketahanan pangan. 

Tentunya tulisan ini belum mencakup semua cekaman yang ada pada permasalahan di Indonesia khususnya pertnain, dan tentunya masih ada cekaman-cekaman yang lain. Tantangan yang demikian besar, hendaknya memacu motivasi kita yang mencintai negeri ini untuk semakin menggeluti bidang kita untuk memecahkan berbagai cekaman tersebut jika kita mengakui mencintai Indonesia meskipun dari jauh, atau menerima hidup di negara yang bercekaman tinggi.Sebagai penutup, ada sebuah hadist yang relevan untuk kita semua,   ”Siapa saja yang mengusahakan tanah mati menjadi hidup (dapat ditanami), baginya mendapatkan suatu ganjaran pahala.  Dan makhluk apa pun yang mendapatkan makan darinya akan dihitung sebagai pahala baginya”(Hadist)    

Awang Maharijaya

 – selamat ulang tahun Pak Chozin, semoga sukses, sehat, dalam lindungan Allah.. semoga kita tetap dikuatkan oleh-Nya pada jalan kebenaran membangun masyarakat berbasis kebenaran ilmu pengetahuan tanpa meninggalkan sisi-sisi religi –

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2000.  Statistik Indonesia 1999.  Badan Pusat Statistik. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2001.  Statistik Indonesia 2000.  Badan Pusat Statistik. JakartaBrett, C.T. and Waldron K.W. 1996.  Physiology and Biochemistry of Plant Cell Walls, 2nd ed. Chapman and Hall. London.Chozin, M.A.  2006.  Peran Ekofisiologi Tanaman dalam Pengembangan Teknologi Budidaya Pertanian.  Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Agronomi.  Fakultas Pertanian. IPB. 114 hal.

Departemen Pertanian.  2001.  Kebijakan Pembangunan Pertanian Nasinal.  Makalah disampaiak pada Konferensi HIGI XV.  Surakarta.  17 –  19 Juli 2001.

Dirjen Perlindungan Tanaman, Hortikultura, Deptan RI, 2006.Evenson RE (Eds). 1996.  Rice Research in Asia: Progress and Priorities. Manila: International Rice Research Institute and Wallington: CAB International

Food and Agriculture Organization (FAO). 2004.  Rice is Life. Italy: FAO. http://www.fao.org/newsroom/en/focus

Frantzen, J. 2000.  Resistance in population. In A. Slusarenko, R.S.S. Fraser and L.C. van Loon (eds).  Mechanism of Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publisher. Netherland. 

Lafitte, H.R., A. Ismail, J. Bennet.. 2004.  Abiotic stress tolerance in rice for Asia: Progress and the future.  Proceedings of the 4th International Crop Science Congress, September 2004, Brisbane, Australia.

Moerschbacher, B. and K. Mendgen. 2000.  Structural aspects of defense. In A. Slusarenko, R.S.S. Fraser and L.C. van Loon (eds).  Mechanism of Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publisher. Netherland.

Noor, M.  2004.  Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam.  Raja Grafindo Persada. Jakarta  Notohadiprawiro. 2000.  Tanah dan Lingkungan.  Pusat Studi Sumberdaya Lahan (PSSL) Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.

Nunung, H.A. Yahya. 1985. Hubungan ketahanan klon-klon harapan ubi kayu dengan pupuk bahan organik terhadap serangan penyakit bakteri busuk daun yang disebabkan oleh  serangan penyakit hawar/mati pucuk (Xanthomonas campestris pv. Manihotis).  Kong. Nas. VII PFI. Cibubur, Jakarta. Oktober 1985: 47-49.

Podila G.K., Dickman M.B, and Kolattukudy P.E. 1995. Targeted secretion of a cutinase in Fusarium solani f.sp. pisi and Colletotrichum goesporioides. Phytopathology. 85: 238-242.

Pujiwati, H.  2004.  Studi Penerapan Sistem Budidaya dan Cara Pengendalian Gulma pada Pola Tumpang Sari Kacang Hijau (Vigna radiata L.) dan Padi (Oryza sativa L.).  Thesis Sekolah Pasca Sarjana IPB.   

Saefuddin A., dan A. Maharijaya A. 2006.  Strengthening the Role of Higher Education in  GeoInformatics Utilization: A Transdisciplinary Approach (Bogor Agricultural University’s Case). Proceding. Workshop of Hotspot and Geoinformatics Utilization. San Diego, US. 8 Juni 2005.

Semangun, H. 1991.  Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. UGM. Press. Yogyakarta.Semangun, H. 1993. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia.  UGM Press. Yogyakarta.

Susilo, E.  2004.  Penerapan system budidaya dan cara pengendalian gulma pada kedelai  (Glycine Max (L.) Merr.) dan padi (Oryza sativa L.) dalam pola tumpang sari .  Thesis Sekolah Pasca Sarjana IPB. 

Sutrisno.  2005.  Keterkinian Plasma Nutfah Tumbuhan.  Disampaikan pada Apresiasi Penelitian Plasma Nutfah Pertanian.  Komisi Nasional Plasma Nutfah.  Bogor 6-7 September 2005.

Terry, E.R. 1977.  Factor affecting the incidence of cassava bacterial blight in Africa. Dalam J. Cook, R. McIntyre, and M. Graham (ed). Proc. Symp IV Internat. Soc. Tropical Root Crops, CIAT, Cali, Columbia: 179-184.

Utomo, I.H., P. Lontoh, Rosilawati dan Handayaningsing.  1986.  Kompetisi teki (Cyperus rotundus L ) dan gelang (Portulaca oleraceae) dengan tanaman hortikultura.  Prosiding Konfrensi VIII HIGI. Bandung.

2 Responses

  1. artikel ini sangat membuka wawasan saya bagaimana keadaan alam indonesia pada saat ini dan hubungannya dengan prospek pertanian

  2. mohon sumbang saran untuk judul penelitian yang ada kaitan dengan cekaman lingkungan.
    trims

Leave a comment